Abd-Allah ibn Mas’ud ( bahasa Arab : عبدالله بن مسعود)


Abd-Allah ibn Mas’ud ( bahasa Arab : عبدالله بن مسعود) (d.ca.652) adalah orang 6 yang masuk Islam setelah Muhammad mulai berdakwah di Mekkah . Dia juga salah satu sahabat terdekat Muhammad.

Ia adalah orang yang pertama kali mengumandangkan Al-Qur’an dengan suara merdu.

Sebelum Rasulullah masuk kerumah Arqam, Abdullah bin Mas’ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah SAW. Dengan demikian, ia termasuk golongan pertama yang masuk Islam.

Biografi

pertemuan pertama dengan Muhammad

Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah itu diceritakannya sebagai berikut:

“Ketika itu saya masih remaja, mengembalakan kambing kepunyaan ‘Uqbah bin Mu’aith. Tiba-tiba datang Nabi Muhammad SAW bersama Abu bakar, dan bertanya, “Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami? “Aku orang kepercayaan,” ujarku, “dan tak dapat memberi anda minuman…!”
Maka sabda Nabi SAW, “Apakah kamu punya kambing betina mandul yang belum dikawini oleh yang jantan…?” “Ada,” ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu di sapu susunya sambil memohon kepada Allah SWT. Tiba-tiba susu itu berair banyak, kemudian Abu Bakar mengambilkan sebuah batu cembung yang di gunakan Nabi untuk menampungan perahan susu. Lalu Abu bakar minumlah dan saya pun tidak ketinggalan… setelah itu, Nabi menitahkan kepada susu, “Kempislah!” maka susu itu menjadi kempis…

Setelah peristiwa itu saya mendatangi Nabi, kataku, “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut!” Ujar Nabi SAW, ” Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”

Alangkah heran dan ta’jubnya Ibnu Mas’ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang di percaya memohon kepada Tuhannnya sambil menyapu ke susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluarkan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat di minum…!

Pada saat itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu’jizat paling enteng dan tidak begitu berarti, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah SAW yang mulia ini akan di saksikannya mu’jizat yang akan mengguncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya.

Bahkan pada saat itu juga belum di ketahuinya, bahwa yang dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai pengembala kambing milik ‘uqbah bin Mu’aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu’jizat ini, yang setelah di tempa oleh Islam akan menjadi seorang beriman, dan akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukan kesewenangan para pemukanya.

Berdakwah Di Depan Pembesar Quraisy

Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat dihadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di didepan para majlis para bangsawan si sisi Ka’bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Illahi Al-Qur’anul Karim:

“Bismillahirrahmaanirrahiim…
Allah yang Maha Rahman…
Yang telah mengajarkan Al-Qur’an…
Menciptakan insan…
Dan menyampaikan padanya penjelasan…
Matahari dan bulan beredar menurut…
Perhitungan…
Sedang bintang dan kayu-kayuan sama…
Sujud kepada Tuhan…

Lalu di lanjutkannya bacaanya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka… dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka…, tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan pengembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy… yaitu Abdullah bin Mas’ud, seorang yang miskin yang hina dina…!

Marilah kita dengan keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat manarik dan mena’jubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair r.a. katanya:

“Yang mula-mula menderas Al-Qur’an di Mekah setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud r.a. pada suatu hari para sahabat Rasulullah SAW berkumpul, kata mereka, “Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikitpun Al-Qur’an ini di baca dengan suara keras di hadapan mereka. Nah, siapa diantara kita yang bersedia mendengarkannya kepada mereka…?”

Maka kata Abdullah bin Mas’ud, “Saya.” Kata mereka, “Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan adalah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankan dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat…” “Biarkanlah saya!”kata Abdullah bin Mas’ud pula, “Allah pasti membela.”

Maka datanglah Abdullah bin Mas’ud kepada kaum Quraisy di waktu Dhuha, yakni ketika mereka berada di balai pertemuannya… Ia berdiri di panggung lalu membaca “Bismillahirrahmaanirrahiimi” dan dengan mengeraskannya suaranya; Arrahman…’allamal Qur’an…
Lalu sambil menghadap kepada mereka di terusksanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya sambil bertanya sesamanya, “Apa yang di baca oleh anak si Ummu’Abdin itu…? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad!”

Mereka bangkit mendatanginya dan memukulinya, sedang Abdullah bin Mas’ud membacanya sampai batas yang di kehendaki Allah… Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak belur ia kembali kapada para sahabat. Kata mereka, “Inilah yang kami khawatirkan tentang dirimu…!” Ujar Abdullah bin Mas’ud, “Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat yang sama esok hari…!” Ujar mereka, “Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!”

Benar, pada saat Abdullah bin Mas’ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongn miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu’jizat besar dari Rasulullah saw, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya siang dan sinar matahari. Tidak di ketahuinya bahwa saat itu telah dekat… Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta merta menjadi suatu mu’jizat di antara berbagai mu’jizat Rasulullah SAW …!

Profil Abdullah Ibnu Mas’ud
Dalam kesibukan dan perpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata… Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak…! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitupun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.
Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajatnyapun di bawah… tapi sebagai ganti dari kemiskinnaya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, di anugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahnya ilmu pengetahuan, kemuliaan, serta ketetapan yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan.

Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah SAW ketika beliau mengatakan padanya, “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar.” Ia telah di beri pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Muhammad saw, dan tulang punggung para huffadh Al-Qur’anul Karim.

Mengenai dirinya ia pernah mengatakan, “Saya telah menampung 70 surat Al Qur’an yang dengan langsung dari Rasulullah saw tiada seorang pun yang menyaingiku dalam hal ini…”

Dan rupanya Allah SWT memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan Al-Qur’an secara terang-terangkan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka di anugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan Al-Qur’an dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.

Rasulullah saw telah memberi wasiat kepada para sahabat agar mengambil Abdullah bin Mas’ud sebagai teladan, sabda Rasulullah SAW, “Berpegangteguhlah pada kepada ilmu yang diberikan oleh ibnu ummi ‘Abdin…!

Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca Al-Qur’an dari padanya. Sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang ingin hendak membaca Al Qur’an tepat seperti di turunkan, hendaklah ia membacanya seperti Ibnu Ummi ‘Abdin…!”

Sungguh, telah lama Rasulullah menyenangi bacaan Al-Qur’an dari mulut Ibnu Mas’ud…

Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya, “Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!”
“Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasulullah…?”
Jawab Rasulullah, “Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain.”

Maka Ibnu Mas’ud pun membacanya di mulai dari surat An-Nisa hingga pada sampai firman Allah ta’ala, “Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka…! Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasulullah SAW sama berharap kiranya mereka disama ratakan dengan bumi…! Dan mereka tidak dapat merasahasiakan pembicaraan dengan Allah…!” (Q. S. An-Nisa: 41-42)

Maka Rasulullah SAW tak dapat menahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya di isyaratkan kepada Ibnu Mas’ud yang maksudnya, “Cukup…, cukuplah sudah, hai Ibnu Mas’ud…!”

Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya, “Tidak suatu pun dari Al-Qur’an itu yang di turunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa yang di turunkannya. Dan tidak seorangpun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat di capai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, pastilah aku akan menemuinya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!”

Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diakui oleh para sahabat. Amirul Mu’minin, Umar, berkata mengenai dirinya, “Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-limpah.”

Dan berkata Abu Musa Al Qur’an-Asy’ari, “Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah selama kyai ini berada pada tuan-tuan!”

Tidak hanya keunggulannya dalam Al-Qur’an dan ilmu fiqih saja yang patut beroleh pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketakwaan.

Berkata Hudzaifah tentang dirinya, “Tidak seorangpun saya lihat yang lebih mirip Rasulullah saw baik dalam cara hidup, perilaku dan ketenangan jiwanya, dari pada Ibnu Mas’ud… dan orang-orang yang di kenal dari sahabat-sahabat Rasulullah saw sama mengetahui bahwa puteranya dari Ummi ‘Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah…!”

Pada suatu hari serombongan sahabat berkumpul pada Ali Karamullahu Wajhah (semoga allah memuliakan wajah atau dirinya), lalu kata mereka kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah lembut dalam mengajar, begitupun yang lebih baik pergaulannya, dan lebih shalih dari pada Abdullah bin Mas’ud…!” Ujar Ali, “Saya minta tuan-tuan bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati tuan-tuan…?” “Benar,” ujar mereka.

Kata Ali pula, “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya,bahwa saya berpendapat mengenai dirinya seperti apa yang mereka katakan itu, atau lebih baik dari itu lagi… Sungguh, telah di bacanya Al Qur’an, maka dihalalkannya barang yang halal dan di haramkannya barang yang haram…, seorang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmunya tentang as-Sunnah…!”

Suatu ketika para sahabat memperkatakan pribadi Abdullah bin Mas’ud, kata mereka, “Sungguh, sementara kita terhalang, ia diberi restu, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan (tingkah laku Rasulullah SAW)…”

Maksud mereka ialah bahwa Abdullah bin Mas’ud beruntung mendapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah saw, suatu hal yang jarang di dapat oleh orang lain. Ia lebih sering masuk kerumah Rasulullah SAW dan menjadi teman duduknya. Dan lebih-lebih lagi ia ialah tempat Rasulullah SAW menumpahkan keluhan dan mempercayakan rahasianya, hingga ia di beri gelar “Peti Rahasia.”

Berkata Abu Musa Al-Qur’an-Asy’ari, “Sungguh setiap saya melihat Rasulullah saw, pastilah Ibnu Mas’ud berada menyertainya…”

Adapun yang menjadi sebab ialah karena Rasulullah SAW amat menyayanginya, terutama keshalihan dan kecerdasannya serta kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah SAW pernah bersabda mengani dirinya, “Seandainya saya hendak mengangkat seseorang sebagai amir tanpa musyawarat dengan kaum muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Ummi ‘Abdin…”

Dan telah kita kemukakan wasiat Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, “Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi ‘Abdun!”

Maka kesayangan dan kepercayaan ini memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan Rasulullah saw, hingga ia beroleh hak yang tidak di berikannya kepada orang lain, bersabda Rasulullah SAW kepadanya, “Saya idzinkan kamu bebas dari tabir hijab…!”

Ini merupakan lampu hijau bagi Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah saw dan pintunya senantiasa terbuka baginya, biar siang maupun malam, dan inilah yang pernah di perkatakan oleh para sahabat , “Sementar kita terhalang, ia di beri izin, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan…”

Dan memang Ibnu Mas’ud banyak untuk memeproleh keistimewaan ini… Karena walupun pergaulan rapat seperti ini akan memberikan padanya keuntungan, tetapi Ibnu Mas’ud hanya bertambah khusu’, tambah hormat dan sopan santun…

Mungkin gambar yang melukiskan akhlaknya secara tepat, ialah sikapnya ketika menyampaikan hadith dari Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW, tetapi kita lihat setiap ia menggerakan kedua bibirnya untuk mengatakan, “Saya dengar Rasulullah saw menyampaikan hadits dan bersabda…,” maka tubuhnya gemetar dengan amat sangat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebabnya tiada lain karena takutnya akan alpa, hingga bersalah menaruh kata di tempat yang lain…!

Marilah kita dengarkan kawan-kawanya melukiskan gejala-gejala ini! Berkatalah ‘Amar bin Maimun:

“Saya bolak-bolak kerumah Abdullah bin Mas’ud ada setahun lamanya, dan selama itu tak pernah saya dengar ia menyampaikan hadits dari Rasulullah SAw, kecuali sebuah hadits yang di sampaikannya pada suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan: ‘Telah bersabda Rasulullah SAW, tiba-tiba ia kelihatan gelisah hingga tanpak keringat bercucuran dari keningnya.’ Kemudian katanya megulangi kata-kata yang tadi, ‘Kira-kira demikianlah disabdakan oleh Rasulullah SAW…’”

Dan bercerita Al-Qamah bin Qais:
Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan Hadits. Tidak pernah saya dengar ia mengucapkan, “Telah bersabda Rasulullah SAW,” kecuali satu kali saja… disaat itu saya melihat ia bertelekan tongkat, dan tongkatnya itupun bergetar dan bergerak-gerak…”

Dan di ceritakan pula oleh Masruq mengenai Abdullah ini:
“Pada suatu hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah Hadits, katanya, “Saya dengar Rasulullah SAW…” Tiba-tiba ia jadi gemetar, dan pakainnya bergetar pula… kemudian katanya, “Atau kira-kira demikian…, atau kira-kira seperti itulah…”

Nah, sampai sejauh inilah ketelitian, penghormatan dan penghargaannya kepada Rasulullah SAW… disamping menjadi bukti ketaqwaannya, ketelitian, dan penghormatannya ini merupakan tanda kecerdasannya…!

Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah SAW, penilaiannya tehadap kemuliaan Rasulullah SAW lebih tepat… dan itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah saw ketika beliau masih hidup, begitupun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tak ada duanya…!

Ibnu Mas’ud tak hendak berpisah dari Rasulullah saw baik di waktu bermukim maupun di waktu bepergian. Ia telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan dan pertempuran. Dan peranannya dalam perang badar meninggalkan kenangan yang tak dapat di lupakan, yakni rubuhnya Abu Jahal oleh tebusan pedang kaum muslimin pada hari yang keramat itu…

Khalifah-khalifah dan para sahabat Rasulullah SAW mangakui kedudukannya ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai Bendaharawan di kota Kufah. Kepada penduduk waktu mengirimnya itu mengatakan:

“Demi Allah yang tiada Tuhan mealinkan dia , sungguh saya lebih mementingkan tuan-tuan dari pada diriku, maka ambilah dan pelajarilah ilmu dari padanya…!”

Dan penduduk Kufah telah mencintainya, suatu hal yang belum pernah di peroleh orang-orang sebelumnya, atau orang yang setaraf dengannya… Sungguh, kebulatan penduduk Kufah untuk mencintai seseorang, merupakan suatu hal yang mirip dengan mu’jizat… sebabnya ialah karena mereka biasa menentang dan memberontak, mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa…, dan tidak mampu hidup selalu dalam aman tenteram…!

Dan karena kecintaan mereka kepadanya demikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya sewaktu ia hendak di perhentikan oleh Khlaifah Utsman r.a dari jabatannya, kata mereka, “Tetaplah anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari mala petaka yang menimpa anda!”

Tetapi dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, katanya, “Saya harus taat kepadanya, dan dibelakang hari akan timbul fitnah, dan saya tak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya…!”

Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas’ud dengan khalifah Utsman r.a. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunannya di tahan dari baitulmal. Walau demikian, tidak sepatah kata pun yang tidak baik, kelauar dari mulutnya mengenai Utsman, bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika di lihatnya persekongkolan di masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan. Dan ketika terbetik berita ketelinganya mengenai percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari mulutnya ucapan yang terkenal:
“Sekiranya mereka membunuhnya, maka tak ada lagi orang yang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah…” Dalam pada itu, di antara kawan-kawan Ibnu Mas’ud ada yang berkata, “tak pernah saya dengar Ibnu Mas’ud mengeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman…”

Allah SWT telah menganugerahinya hikmah sebagaimana telah memberinya sifat taqwa. Ia memiliki kemampuan untuk melihat yang jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapnya secara menarik dan tepat.

Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan mena’jubkan, katanya, “Islamnya mereka suatu kemenangan…, hijrahnya mereka pertolongan…, sedang pemerintahannya menajdi suatu rahmat.”

Berbicara tentang apa yang dikatakan orang seakrang tentang relativitas masa, ia mengatakan, “Bagi Tuhan kalian tiada siang dan malam…! Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya…!”

Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini katanya, “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur tak ada usahanya untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat.”

Dan diantara kata-katanya yang bersayap ialah:
“Sebaik-baik kaya ialah kaya hati;
sebaik-baik bekal ialah taqwa;
seburuk-buruk buta ialah buta hati;
sebesar-besar dosa ialah berdusta;
sejelek-jelek uasaha ialah memungut riba;
seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim;
siapa yang memaafkan orang akan di maafkan Allah;
dan siapa yang mengampuni orang akan diampuni Allah.”

Nah, itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud sahabat Rasulullah SAW; dan itulah dia, kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui pemiliknya di jalan Allah dan Rasul-Nya serta Agama-Nya.

Itulah dia, laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati, kurus dan pendek, hingga badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk. Kedua betisnya kecil dan kempes, yang tampak ketika ia memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk di gunakan Rasulullah SAW. Para sahabat sama menetertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah SAW, “Tuan-tuan menetertawkan betis Ibnu Mas’ud , keduanya disisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud!”

Memang, inilah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus dan hina, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya saah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk dan cahaya.

Ia telah di karunia taufiq dan ni’mat oleh Allah yang menyebabkannya termasuk dalam golongan “sepuluh orang sahabat Rasulullah SAW yang pertama masuk Islam,” yakni orang-orang yang selagi hidupnya telah menerima berita gembira beroleh ridla Allah SWT dan surga-Nya.

Ia telah terjun dan tak pernah absen dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan di masa Rasulullah saw, begitupun di masa Khalifah sepeninggal beliau. Dan dia turut menyaksikan dua buah imperiaum dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh di masuki panji-panji Islam dan ajarannya.

Disaksikannya jabatan-jabatan yang tersedia dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pun harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka, tetapi tidak satupun yang mengusik dan melupakannya dari janji yang telah di ikrarkannya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, atau merintangi dari garis hidup dan ketekunan ibadat yang di liputi rasa khsusu’ dan tawadlu’.

Dan diantar keinginan dan cita-cita hidup, tidak satupun yang menarik hatinya kecuali sebuah, yakni yang selalu di rindukan, menjadi bauh bibir dan senandungnya, serta menjadi angan-angan untuk mendapatkannya.

Nah, marilah kita simak, kata-kata yang ia sendiri menceritakan hal itu kepada kita:

“Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah SAW di perang Tabuk. Maka tampaklah olehku nyala api di pinggir perkemahan, lalu kudekati untuk melihatnya. Kiranya Rasulullah SAW bersama Abu Bakar dan Umar. Rupanya mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzulbijadain An-Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah SAW ada di dalam lubang kubur itu, sementara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepadanya. Rasulullah SAW bersabda, “Ulurkanlah lebih dekat padaku saudara tuan-tuan itu…! Lalu mereka mengulurkan kepadanya. Dan tatkala di letakkannya di lubang lahat, beliau berdo’a, “Ya Allah, aku telah ridla kepadanya, maka ridla’i pula ia oleh-Mu! Alangkah baiknya sekiranya akulah yang menjadi pemilik liang kubur itu!”

Nah, itulah dia satu-satunya cita-cita yang di harapkan dan di angan-angankan selagi hidupnya.

Dan sebagai anda ketahui, ia tak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan sesuatu untuk di kejar-kejar dan di perebutkan orang, berupa kemuliaan, kekayaan, pengaruh atau jabatan.

Hal ini karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah SWT memperoleh tuntutan dari Al-Qur’an, dan menerima didikan dari Rasulullah SAW.

sumber : http://sunatullah.com/

Abdullah bin Abbas


Abdullah bin Abbas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Abdullah bin Abbas (Bahasa Arab عبد الله بن عباس) adalah seorang Sahabat Nabi, dan merupakan anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad SAW. Dikenal juga dengan nama lain yaitu Ibnu Abbas (619Thaif, 687/68H).

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta beliau juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.

Daftar isi

[sembunyikan]

//

[sunting] Biografi

[sunting] Keluarga

Dia merupakan anak dari keluarga yang kaya dari perdagangan bernama Abbas bin Abdul-Muththalib, maka dari itu dia dipanggil Ibnu Abbas, anak dari Abbas. Ibu dari Ibnu Abbas adalah Ummu al-Fadl Lubaba, yang merupakan wanita kedua yang masuk Islam, melakukan hal yang sama dengan teman dekatnya Khadijah binti Khuwailid, istri Rasululah. [1].

Ayah dari Ibnu Abbas dan ayah dari Muhammad merupakan anak dari orang yang sama, Syaibah bin Hâsyim, lebih dikenal dengan nama Abdul-Muththalib. Ayah orang itu adalah Hasyim bin Abdulmanaf, penerus dari Bani Hasyim klan dari Quraisy yang terkenal di Mekkah. Ibnu Abbas juga memiliki seorang saudara bernama Fadl bin Abbas

[sunting] Hadis Tentang Dia

  • Ibnu Abbas pernah didekap Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW berkata, Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah. Yang dimaksud hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an. [2]

Ibnu Abbas pernah melihat Malaikat Jibril dalam dua kesempatan, Ibnu Abbas berkata:

  • Aku bersama bapakku di sisi Rasulullah dan di samping Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Maka seakan-akan beliau berpaling dari bapakku. Kemudian kami beranjak dari sisi Rasulullah seraya bapakku berkata, Wahai anakku, tahukah engkau kenapa anak laki-laki pamanmu (Rasulullah) seperti berpaling (menghindari aku)? Maka aku menjawab, Wahai bapakku, sesungguhnya di sisi Rasulullah ada seorang laki-laki yang membisikinya. Ibnu Abbas berkata, Kemudian kami kembali ke hadapan Rasulullah lantas bapakku berkata, Ya Rasulullah aku berkata kepada Abdullah seperti ini dan seperti itu, kemudian Abdullah menceritakan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki di sampingmu yang berbisik-bisik kepadamu. Apakah benar memang ada seseorang di sampingmu? Rasulullah balik bertanya, Apakah engkau melihatnya ya Abdullah? Kami menjawab, Ya. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya ia adalah Jibril alaihiwassalam. Dialah yang menyibukkan kami dari kamu sekalian. [3]
  • Abbas mengutus Ibnu Abbas kepada Rasulullah dalam suatu keperluan, dan Ibnu Abbas menjumpai Rasulullah bersama seorang laki-laki. Maka tatkala ia kembali dan tidak bicara kepada Rasulullah, maka Rasulullah bersabda, Engkau melihatnya ? Abdullah (Ibnu Abbas) menjawab, Ya, Rasulullah bersabda, Ia adalah Jibril. Iangatlah sesungguhnya ia tidak akan mati sehingga hilang pandangannya (buta) dan diberi (didatangkan ilmu). [4]

Ia pernah di doakan Nabi dua kali, saat didekap beliau dan saat ia melayani Rasulullah dengan mengambil air wudlu, Rasululah berdoa, Ya Allah fahamkanlah (faqihkanlah) ia. (HR. Muslim)

Ibnu Abbas wafat pada tahun 78 hijriyah, dalam usia 75 tahun, diriwayat lain 81 tahun. Dari Ibnu Jubair menceritakan, bahwa Ibnu Abbas wafat di Thaif.

[sunting] Referensi

  1. ^ http://www.themodernreligion.com/family/m-past.html
  2. ^ HR. Tirmidzi dalam Tuhfatul Ahwadzi Juz X No. 40077.
  3. ^ HR. Ahmad dalam Fathu Rabbani dan A-Thabrani dengan sanad shahih
  4. ^ HR. Thabrani dengan sanad dan rijal kuat
  5. Sang Lautan Ilmu, Ibnu Abbas

    Wednesday, 23 December 2009 03:30 Andi Rahmanto

    E-mail PDF

    0 Comments

    Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Quraisyi, putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibunya bernama Ummu Fadhl Lubanah binti Al-Harits Al-Hilaliah. Ia dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’ib, tiga atau lima tahun sebelum Hijriah, namun pendapat pertama lebih kuat.

    Abdullah bin Abbas menunaikan ibadah haji pada tahun Utsman bin Affan terbunuh. Ketika terjadi perang Shiffin, ia berada di Al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan selanjutnya menetap disana sampai ketika Ali radhiyallhu ‘anhu terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin Harits sebagai penggantinya, gubernur Basrah. Kemudian Abdullah bin Abbas kembali ke Hijaz. Ia sendiri wafat di Thaif pada 65 Hijriah. Sedangkan pendapat lain menyatakan pada tahun 67 atau 68 Hijriah. Namun pendapat terakhir inilah yang dianggap sebagai pendapat paling shahih oleh para jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’ib ketika kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, ia baru berusia tiga belas tahun.

    Posisi dan Keilmuannya

    Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir). Al-Baihaqi dalam Ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Penafsir Al-Qur’an terbaik adalah Ibnu Abbas.” Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid bahwa Ibnu Abbas dijuluki dengan Al-Bahr (lautan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, “Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata, ‘Orang paling pandai umat ini telah wafat dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.’”

    Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapat tempat yang istimewa dikalangan para sahabat senior mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya. Bukhari, dari jalur sanad Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menceritakan, “Umar mengikutsertakan aku ke dalam kelompok para tokoh senior Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa kurang suka , lalu berkata, ‘Mengapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami, padahal kami pun memiliki anak-anak yang sepadan dengannya?’ Umar menjawab, ‘Ia memang seperti yang kalian ketahui.’ Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan mengajak aku bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku semata-mata hanya untuk memamerkan saya dihadapan mereka. Ia berkata, ‘Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan Allah telah tiba (An-Nasr: 1).’ Sebagian mereka menjawab, ‘Kita diperintah untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya Ia memberi kita pertolongan dan kemenangan.’ Sedang yang lain diam, tidak berkata apapun. Lalu Umar berkata kepadaku, ‘Begitukan pendapatmu hai Ibnu Abbas?’ ‘Tidak,’ jawabku. ‘Lalu bagaimana menurutmu?’ tanyanya lebih lanjut. Aku pun menjawab, ‘Ayat itu adalah sebagai penanda tentang ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah informasikan kepadanya, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan dari Allah telah datang.’ Dan itu sebagai pertanda ajalmu, wahai Muhammad. ‘Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha penerima taubat.’ Umar pun berkata, ‘Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan.’”

    Corak Tafsir Ibnu Abbas

    Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang kurang sistematis yang tajuknya Tafsir Ibnu Abbas. Di dalamnya terdapat berbagai macam riwayat dan sanad. Tetapi sanad yang terbaik adalah yang melalui jalur Ali bin Thalhah Al-Hasyim, dari Ibnu Abbas. Sanad ini menjadi pedoman Bukhari dalam kitab Shahihnya. Sedangkan sanad yang cukup baik, dari jalur Qais bin Muslim Al-Kufi, dari Atha’ bin Sa’ib.

    Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang disandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah yaitu sanad melalui jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih. Al-Kalbi sendiri adalah Abu Nashr Muhammad bin As-Sa’I (wafat 146 H). Jika sanad ini digabungkan dengan riwayat Muhammad bin Marwan As-Suddi As-Shaghir, maka akan menjadi sebagai silsilah Al-Kadzib (mata rantai kebohongan). Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bi Bisyr Al-Azdi. Hanya saja Al-Kalbi lebih baik darinya, karena Muqatil terikat dengan berbagai madzhab atau paham yang kurang baik.

    Sementara itu sanad Adh-Dhahak bin Muzahim Al-Kufi dari Ibnu Abbas sifatnya munqathi’ (terputus), karena Adh-Dhahak tidak berjumpa langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin Imarah, maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr memang lemah. Dan jika sanad itu melalu riwayat Juwaibir dari Adh-Dhahak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan riwayatnya ditinggalkan ulama.

    Sanad melalui Al-‘Aufi dan seterusnya dari Ibnu Abbas banyak dipergunakan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, padahal Ibnu ‘Aufi tersebut seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan terkadang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi.

    Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalur periwayatan Ibnu Abbas, dan mengetahui mana jalur yang cukup baik dan diterima, serta mana jalur yang lemah atau ditinggalkan sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas merupakan sanad yang pasti atau shahih.

    Sumber:

    Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an: Pustaka Al-Kautsar

Profil Ibnu Abbas.

Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdi Manaf al Qursyi al Hasyimi.2

Beliau adalah anak paman Rasul Abbas bin Abdul Muthallaib. Ibundanya adalah Lubabah al Kubra binti al Harits bin Hazan al Hilaliyah. Ibnu Abbas lahir di kota Mekkah 3 tahun sebelum Rasul Hijrah ke kota Madinah.

Kelahiran beliau bertepatan dengan tahun pemboikotan Bani Hasyim oleh orang-orang Quraisy. 3

Ibnu Abbas selalu bersama Nabi di masa kecilnya karena beliau termasuk salah satu kerabat dekat nabi dan karena bibinya, Maimunah, adalah salah seorang istri Nabi. Menurut Riwayat Bukhari, Ibnu Abbas dididik langsung oleh Rasul dan Rasul meramalkan bahwa ia akan menjadi ahli Tafsir al Qur’an.4

Pada tahun 36 H. beliau ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menjadi Amirul Haj. Ia tidak berada di kota Madinah ketika Utsman terbunuh. Dalam pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Ibnu Abbas memihak kepada Ali. 5

Di akhir usianya, Ibnu Abbas mengalami kebutaan,.namun hal itu tidak membuat kendurnya semangat beliau untuk menggali nilai-nila yang terkandung di dalam al Qur’an serta terus bersikap kritis terhadap setiap perkembangan yang terjadi di tengah ummat pada masanya.. Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 Hijrah dalam usia 70 tahun. Beliau wafat di kota Thaif dan dimakamkan di kota yang sama.

Ibnu Abbas diberi gelar al Bahr (6) yang berarti Samudra. Hal itu disebabkan karena betapa dalam dan luas ilmu yang ia miliki. Kepakaran tersebut disebabkan kehidupan ilmiah yang selalu menghiasi hari-hari beliau, di mana belajar dan mengajar adalah kesibukan-kesibukan yang tidak pernah beliau tinggalkan. Beliau mengajarkan berbagai macam ilmu kepada murid-muridnya. Kadang-kadang beliau mengajarkan Fiqh, atau Ta’wil atau sejarah. Ubaidillah bin Abdullah pernah mengatakan: “ Tidaklah aku menyaksikan orang alim yang duduk bersama Ibnu Abbas kecuali ia merendahkan diri terhadap Ibnu Abbas. Dan tidaklah aku melihat orang yang bertanya kepada Ibnukecuali ia akan mendapatkan ilmu dari jawaban Ibnu Abbas.”(7) Hal itupun semakin ditopang oleh ketidakterlibatan beliau dalam percaturan politik dan pemerintahan, (8) kecuali hanya dalam waktu yang sangat sedikit, yaitu ketika beliau ditugaskan oleh Ali bin Abi Thalib sebagai Amir di kota Basrah.(9)

Dengan kedalaman ilmu tersebut berbagai macam pujianpun diarahkan kepada beliau, seperti yang disampaikan oleh Ibnu Umar, yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas adalah ummat Muhammad yang paling tahu tentang apa yang diturunkan kepada Muhammad. Thawus, salah seorang Tabi’in pernah ditanya oleh al Laits bin Sulaiman :“Mengapa engkau tinggalkan sahabat-sahabat senior dan berguru kepada anak kecil ini (Ibnu Abbas). Thawus menjawab, “Aku melihat 70 orang sahabat Rasul berselisih tentang suatu urusan, akan tetapi semuanya kembali kepada pendapat Ibnu Abbas.”(10)

Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Ibnu Abbas, tidaklah terjadi begitu saja. Akan tetapi kepakaran tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang amat penting yang menghiasi perjalanan hidup beliau :

1. Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas. Doa Rasulullah ini menjadi bukti yang paling kuat tentang kemampuan Ibnu Abbas dalam menafsirkan dan memahami kitab suci al Qur’an. Menurut pengakuan Ibnu Abbas Sendiri, Rasul pernah dua kali mendoakan beliau. Do’a tersebut adalah Allahum ‘allimhu al hikmah (‫‬ اﻟﻠﻬﻢ ﻋﻠﻤﻪ اﻟﺤﻜﻤﺔ)

dan ( ‫اﻟﻠﻬﻢ ﻓﻘﻬﻪ ﻓﻲ اﻟﺪﯾﻦ‬ وﻋﻠﻤﻪ اﻟﺘﺎوﯾﻞ) Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhu al Ta’wil‬.

‫ ‬Menurut ajaran Islam, do’a yang dipanjatkan oleh Rasul adalah do’a yang mustajab dan seluruh kehendak Rasul di dalam do’a tersebut dikabulkan oleh Allah.

2. Ibnu Abbas besar dalam lingkungan rumah tangga kenabian, di mana beliau selalu hadir bersama Rasulullah sejak kecil. Beliau selalu mendengar banyak hal dari Rasul, dan menyaksikan kejadian serta berbagai peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al Qur’an. Bahkan beliau pernah dua kali menyaksikan Malaikat Jibril bersama dengan Nabi. 12

3. Interaksi beliau dengan para sahabat senior sesudah wafatnya Rasulullah. Dari sahabat-sahabat senior tersebut, Ibnu Abbas belajar berbagai hal yang berkaitan dengan al Qur’an seperti tempat-tempat turunnya al Qur’an, sebab-sebab turunnya ayat dan lain sebagainya. Upaya untuk belajar dan bertanya tersebut diungkapkan oleh Ibnu Abbas sendiri : “Aku banyak mendapatkan hadits Rasul dari kalangan Anshar. Bila aku ingin mendatangi salah satu di antara mereka, maka aku akan mendatanginya. Boleh jadi aku akan menunggunya hingga ia bangun tidur kemudian aku bertanya tentang hadist tersebut kemudian pergi“.

4. Pengetahuan beliau yang sangat luas tentang bahasa Arab terutama kaitannya dengan uslub-uslubnya dan puisi-puisi Arab kuno yang amat berguna untuk mendukung pemahaman beliau terhadap al Qur’an.

5. Kecerdasan otak yang merupakan anugerah Allah yang membuat Ibnu Abbas mampu untuk berijtihad dan berani menerangkan berbagai hal yang beliau anggap benar dalam penafsiran al Qur’an.

Dengan pengetahuan yang amat luas tersebut, maka Ibnu Abbas selalu menjadi rujukan para sahabat baik senior maupun yunior untuk meminta keterangan dan penjelasan tentang maksud suatu ayat. Seperti kasus ketika Umar bin al Khattab bertanya maksud ayat : ‫ ) اﯾﻮد اﺣﺪﻛﻢ ان ﺗﻜﻮن ﻟﻪ ﺟﻨﺔ ﻣﻦ ﻧﺨﯿﻞ‬surat al Baqarah ayat 266). Maka tidak seorangpun dari sahabat yang mampu memberikan penjelasan yang memadai tentang ayat yang dimaksud.

Pada akhirnya Ibnu Abbas berkata : Wahai Amirul Mu’minin. Aku mendapatkan suatu pemahaman pada diriku tentang ayat yang dimaksud.

Ayat tersebut berisi perumpamaan yang dikemukakan Allah sehingga seolah-oleh Allah berkata : Apakah salah seorang di antara kalian menyukai pekerjaan orang-orang yangbaik sepanjang hidupnya namun ketika akan wafat ia tutup agenda hidupnya yang baik tersebut dengan mengerjakan pekerjaan orang-orang yang sengsara. Sehingga pekerjaan tersebut merusak seluruh amal kebajikannya. 13

Kedalaman ilmu tersebut pulalah pada akhirnya kaum muslimin memberinya gelar sebagai Turjumanul Qur’an, penafsir al Qur’an. 14

Catatan kaki :

1. Quraisy shihab,Membumikan al Qur’an, Mizan, Bandung, 2004, hal. 71.

2. Muhammad Husain az Zahabi, al Tafsir wal mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 2003, Jld. 1,

hlm. 50

3. Mochtar Efendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, Palembang, Jld. I, 2000,

hlm. 14

4. Ibid.

5. Ibid.

6. Muhammad al Jazari,Asdul Ghabah fi ma’rifat al Sahabah, Jld. III, Darul Kutub al Ilmiyyah,

Khairo, t. thn, hlm. 292

7. Ibid.

8. Muhammad Abdul Azim al Zarqani, Manahilul Irfan Fi ulumil Qur’an, Daru Ihyai al Turats al

Araby, Bairut, T. Thn., hlm. 344.

9. Muhammad Husain azzahabi, Op. Cit, hlm. 52

10. Muhammad all Jazari, Op. Cit.

11. Muhammad al Jazari, Op. Cit.

12. Ibid.

13. Ibid, hlm. 54.

14. Al Zarqani, Op. Cit., hlm. 243

15. Munzin Hitami, Menangkap Pesan-Pesan Allah, Suska Press, Pekanbaru, 2006, hlm. 34

16. Muhammad az Zarqani, Op. Cit., hlm. 343

17. Ibid., hlm. 344

18. Ibid.

19. Ibid,hlm. 345

20. Muhammad Husain az Zahabi,Loc. Cit, hlm. 62

21. Ibid.

22. Ibid.

23. Abu Thahir Bin Ya’qub al Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibni Abbas, Darul Fikr,

Beirut, 2001, hlm. 1

sumber :