Umar bin Khattab ra.


Umar bin Khattab

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Umar bin Khattab (581 – November 644) (bahasa Arab: عمر بن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga menjadi khalifah kedua (634-644) dari empat Khalifah Ar-Rasyidin.

Daftar isi

[sembunyikan]

* 1 Latar belakang

* 2 Memeluk Islam

* 3 Kehidupan di Madinah

* 4 Kematian Muhammad SAW

* 5 Masa kekhalifahan Abu Bakar

* 6 Menjadi khalifah

* 7 Kematian

* 8 Lihat pula

* 9 Referensi

* 10 Pranala luar

[sunting] Latar belakang

Nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza, dilahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy. Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil.

Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal, karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakan sendiri, “Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju dan kemudian menyisir janggutku”.

Mabuk-mabukan juga merupakan hal yang umum dikalangan kaum Quraish. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali. Tetapi, setelah masuk Islam, belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas. Sehingga ada kisah, Pada malam hari, Umar bermabuk-mabukkan sampai Subuh. Ketika waktu Subuh tiba, beliau pergi ke masjid dan ditunjuk sebagai imam. Ketika membaca surat Al-Kafirun, karena ayat 3 dan 5 bunyinya sama, setelah membaca ayat ke 5, beliau ulang lagi ke ayat 4 terus menerus. Akhirnya, Allah menurunkan larangan bermabuk-mabukkan yang tegas.

[sunting] Memeluk Islam

Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.

Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.

Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

[sunting] Kehidupan di Madinah

Umar adalah salah seorang yang ikut pada peristiwa hijrah ke Yatsrib (Madinah) pada tahun 622 Masehi. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW

Pada tahun 625, putrinya (Hafsah) menikah dengan Nabi Muhammad.

[sunting] Kematian Muhammad SAW

Setelah sakit dalam beberapa minggu, Nabi Muhammad SAW wafat pada hari senin tanggal 8 Juni 632 (12 Rabiul Awal, 10 Hijriah), di Madinah.

Persiapan pemakamannya dihambat oleh Umar yang melarang siapapun memandikan atau menyiapkan jasadnya untuk pemakaman. Ia berkeras bahwa Nabi tidaklah wafat melainkan sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. (Hayatu Muhammad, M Husain Haikal)

Abu Bakar yang kebetulan sedang berada di luar Madinah, demi mendengar kabar itu lantas bergegas kembali. Ia menjumpai Umar sedang menahan muslim yang lain dan lantas mengatakan.

“Saudara-saudara! Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi barangsiapa mau menyembah Allah, Allah hidup selalu tak pernah mati.”

Abu Bakar kemudian membacakan ayat dari Al Qur’an :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (surat Ali ‘Imran ayat 144)

Umar lantas menyerah dan membiarkan persiapan penguburan dilaksanakan.

[sunting] Masa kekhalifahan Abu Bakar

Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, Umar ditunjuk menggantikannya.

[sunting] Menjadi khalifah

Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).

Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.

Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.

Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.

Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sangat sederhana.

Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.

[sunting] Kematian

Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lukluk (Fairuz), seorang budak pada saat ia akan memimpin shalat Subuh. Fairuz adalah salah seorang warga Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yang saat itu merupakan negara digdaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah kematiannya jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.

[sunting] Lihat pula

* Yerusalem

* Kalender Hijriyah

* Pertempuran Yarmuk

* Pertempuran Qadisiyyah

* Kekaisaran Romawi

[sunting] Referensi

* Hayatu Muhammad, Muhammad Husain Haikal [1]

* Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, KH Munawar Chalil

* Donner, Fred, The Early Islamic Conquests, Princeton University Press, 1981

* Guillaume, A., The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955

* Madelung, Wilferd, The Succession to Muhammad, Cambridge University Press, 1997

* “G.LeviDellaVida and M.Bonner “Umar” in Encyclopedia of Islam CD-ROM Edition v. 1.0, Koninklijke Brill NV, Leiden, The Netherlands 1999″

* Previte-Orton, C. W (1971). The Shorter Cambridge Medieval History. Cambridge: Cambridge University Press.

[sunting] Pranala luar

* Excerpt from The History of the Khalifahs by Jalal ad-Din as-Suyuti

* Sirah of Amirul Muminin Umar Bin Khattab (r.a.a.) by Shaykh Sayyed Muhammad bin Yahya Al-Husayni Al-Ninowy.

Didahului oleh:

Abu Bakar Al-Shiddiq Khulafaur Rasyidin

(632–661) Digantikan oleh:

Utsman bin Affan

Seandainya pemimpin itu seperti Umar bin Khattab

Dipublikasi pada Senin, 17 November 2003 oleh abufaiz97

Artikel ini telah dibaca 9973 kali.

Topik: Kisah Sahabat

Kisah Sahabat Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a naik mimbar dan berkhutbah, “Wahai, kaum muslimin! Apakah tindakanmu apabila aku memiringkan kepalaku ke arah dunia seperti ini?”

———-

Menjalankan Pemerintahan

Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a naik mimbar dan berkhutbah, “Wahai, kaum muslimin! Apakah tindakanmu apabila aku memiringkan kepalaku ke arah dunia seperti ini?” (lalu beliau memiringkan kepalanya). Seorang sahabat menghunus pedangnya. lalu, sambil mengisyaratkan gerakan memotong leher, ia berkata, “Kami akan melakukan ini.” Umar bertanya, “maksudmu, kau akan melakukannya terhadapku?” Orang itu menjawab, “Ya!” lalu Amirul Mukminin berkata, “Semoga Allah memberimu rahmat! Alhamdulillah, yang telah menjadikan di antara rakyatku orang apabila aku menyimpang dia meluruskan aku.”

Menentang Pemborosan

Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: “Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, “Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya.”

Khalifah Umar Meminjam Uang

Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a membutuhkan uang untuk keperluan pribadi. ia menghubungi Abdurrahman bin ‘Auf, sahabat yang tergolong kaya, untuk meminjam uang 400 dirham. Abdurrahman bertanya, “mengapa engkau meminjam dari saya? Bukankah kunci baitul maal (kas negara) ada di tanganmu? mengapa engkau tidak meminjam dari sana?” Umar r.a menjawab, Aku tidak mau meminjam dari baitul maal. Aku takut pada saat maut merenggutku, engkau dan segenap kaum muslimin menuduhku sebagai pemakai uang baitul maal. Dan kalau hal itu terjadi, di akhirat amal kebajikanku pasti dikurangi. Sedangkan kalau aku meminjam dari engkau, jika aku meninggal sebelum aku melunasinya, engkau dapat menagih utangku dari ahli warisku.”

Umar Mengakui Kesalahan

Saat itu Umar bin Khattab r.a sedang berkhutbah,” Jangan memberikan emas kawin lebih dari 40 uqiyah (1240 gram). Barangsiapa melebihkannya maka kelebihannya akan kuserahkan ke baitul maal.” Dengan berani, seorang wanita menjawab,”Apakah yang dihalalkan Allah akan diharamkan oleh Umar? Bukankah Allah berfirman,……sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka sejumlah harta, maka janganlah kamu mengambil dari padanya sedikitpun………(An Nisaa’:20) Umar berkata,” Benar apa yang dikatakan wanita itu dan Umar salah.”

Memutuskan Perkara

Seorang wanita mengadu kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a, bahwa ia diperkosa. Karena ia melawan dan memberontak, maka air mani lelaki tersebut tertumpah dan mengotori pakaiannya. Sebagai barang bukti, diperlihatkannya pakaiannya yang terkena tumpahan cairan putih. Umar r.a. tidak segera percaya terhadap wanita itu. Ia meminta pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. Ali r.a berkata, “Sirami tumpahan putih itu dengan air panas. Kalau bercak itu membeku, maka itu pasti putih telur. Dan kalau ia hilang dan lumat bersama air, maka itu adalah air mani.” Ketika bercak itu disiram air panas, ternyata ia membeku. Umar r.a dan Ali r.a pun memutuskan bahwa pengaduan wanita itu palsu. Umar r.a. berkata kepada wanita itu, ” Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai wanita! Pengaduanmu ternyata bohong dan tuduhanmu palsu.”

(sumber = milist daarut-tauhiid)

Kumpulan Kata-kata Bijak Umar bin Khattab ra

Minggu, 07-03-2010 06:20 WIB | diposting dari rumah | hit: 1920 | komentar: 1 | Agama

Umar bin Khotob: “duduklah dengan orang-orang yang bertaubat, sesungguhnya mereka menjadikan segala sesuatu lebih berfaedah.” (Tahfdzib Hilyatul Auliya I/71)

Umar bin Khotob: “Kalau sekiranya kesabaran dan syukur itu dua kendaraan, aku tak tahu mana yang harus aku kendarai.” (Al Bayan wa At Tabyin III/ 126)

Umar bin Khotob: “Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya.” (Ihya’ Ulumuddin 4/203)

Umar bin Khattab: “Hendaklah kalian menghisab diri kalian pada hari ini, karena hal itu akan meringankanmu di hari perhitungan.” (Shifatush Shafwah, I/286)

Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar

Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.

Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Manusia yang berakal ialah manusia yang suka menerima dan meminta nasihat.-Umar bin Khatab-

Barangsiapa yang jernih hatinya, akan diperbaiki Allah pula pada yang nyata di wajahnya.-Umar bin Khatab-

Barangsiapa menempatkan dirinya di tempat yang dapat menimbulkan persangkaan, maka janganlah menyesal kalau orang menyangka buruk kepadanya.-Umar bin Khattab-

Kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata lemah-lembut.-Umar bin Khattab-

Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar.-Umar bin Khatab-

Didiklah anak-anakmu itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang kerana mereka telah dijadikan Tuhan untuk zaman yang bukan zaman engkau.-Umar bin Khattab-

Syaikh Abul Hasan Al Asy`ari


Syaikh Abul Hasan Al Asy`ari

Abu al-Hasan bin Isma’il al-Asy’ari (Bahasa Arab ابو الحسن بن إسماعيل اﻷشعري) (lahir: 873– wafat: 935), adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy’ari.

Al-Asy’ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad. Asy’ari sempat berguru pada guru Mu’tazilah terkenal, yaitu al-Jubba’i, namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu’tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy’ariah. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah “Sang hujatul Islam” Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.

sumber : wikipedia

Syaikh Abul Hasan Al Asy`ari Print
Written by Abu Ibrahim
Wednesday, 12 March 2003
Beliau bernama `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu’tazilah, al Qaramithah dan lain sebagainya.

Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.

Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah

Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah.

Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an apalagi as Sunnahyang tidak sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah (yang artinya):

Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23).

Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.

Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya (yang artinya):

(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)

untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinmakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah  Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?

Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy`ary dalam segi aqidah dalam rangka koreksi terhadap faham mu`tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalan mengenai, apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidakl. Faham Mu`tazilah berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:

Al Asy`ary (A) :  Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?

Al Jubba`i (B)  :  Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.

A  : Bagaimana dengan anak kecil?

B  : Anak kecil tidak akan masuk neraka

A  : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?

B  : tidak, karena tidak pernah berbuat baik

A :  kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan

B  :  Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.

A  :  kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.

Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan  Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Faham Asy`ariyah

Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari faham Mu`tazilah, pada mulanya cetusan pendapat Abu al Hasan sedikit banya dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau membahas tentang sifat Allah dalam beberapa hal beliau masih menta`wilkan sebagiannya. Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.

Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah menurut pengakuan secara teoritis pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih mendahulukan akal daripada naql. Hal ini terbukti masih menggunakan penta`wilan terhadap ayat-ayat Al Qur`an tentang sifat-sifat Allah, misalnya:yadullah diartikan kekuatan Allah, istiwa-u Llah dikatakan pengasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyinmpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat Allah. Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tigabelas yang lain sifat majazi. Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio.

Dikatakannya, penetapan tujuh sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi sam`in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk.

Ketika ditanyakan :Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk? Jawabannya: Sifat-sifat tersebut dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah SWT mempunyai arti `maha` sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa. Kalau demikian seharusnya tidak perlu kawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada Allah akan mempunyai arti Maha.

Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf

Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329 H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah merupakan buku terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tununan salaf. Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:

  1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
  2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka tidak ada nilai keimanan.
  3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal atas wahyu.

Adapun  manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:

  1. Menafsirkan ayat dengan ayat.
  2. Menafsirkan ayat dengan hadits
  3. Menafsirkan ayat dengan ijma`.
  4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kacuali ada  dalil.
  5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
  6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut
  7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.

Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun 320 (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis sesudah tahun 320 hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A`lam.

Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim pada Majalah As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992.

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (260-324 H)

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari Abdullah bin Qais bin Hadhar salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak.

Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang imam kelompok Mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as­-Saji. Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ula­ma thabaqah mereka.

Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata, ‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’taziIah selama 40 tahun dan jadilah be­liau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar se­raya mengatakan: Wahai manusia, sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu permasalahan yang dalil-dalilnya sama-­sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon pe­tunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepada­ku yang aku tuliskan dalam kitab- kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelum­nya aku yakini, sebagaimana aku lepaskan bajuku ini. maka beliau melepas baju beliau dan beliau serahkan kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab tersebut me­reka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikan­nya sebagai imam.’”

Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah seorang imam dari ashhabul hadits. Beliau ber­bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye­leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu­nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.

Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”

Abul Abbas Ahmad bin Mu­hammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan (2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian bertaubat.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir berka­ta dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187), “Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemu­dian bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”

Al-Hafizh adz-Dzahabi ber­kata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar,” Abul Hasan al­Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-­Juba’i, kemudian beliau lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para imam ahli hadits.”

Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi­’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul Hasan al-Asy’ari -mengikuti pe­mikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam ke­lompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agama­Nya dan melapangkan dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.” (Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir di atas).

Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madz­hab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il Madzhab (hal. 193), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat. Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya se­babnya kepada beliau, Maka be­liau menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan ke­pada beliau agar kembali kepada kebenaran dan membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”

Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’ Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i (tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bah­wasanya para hamba menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertau­bat dari pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem­bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”

Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata, ‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran: pertama mengikuti pemikiran Mu’tazilah yang kemu­dian beliau keluar darinya, Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah, yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga adalah menetapkan semua sifat Allah tan­pa takyif dan tasybih sesuai man­haj para sahabat yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”

Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid al­-Marwazi, Abu Abdillah bin Mu­jahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu Muhammad al­-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sara­khsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.

Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah; al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya.

al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.

Di antara perkataan-­perkataannya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertan­ya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qadariyyah, Jahmi­yyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyaki­nanmu yang engkau beribadah ke­pada Allah dengannya!” Jawablah, “Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita, sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang di­katakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”

Ringkas perkataan kami bah­wasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-­kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kami tidak akan menolak sedikitpun. Sesung­guhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak di­ibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan urusan­Nya. Allah mengurusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah berse­mayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya:
“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”
. (QS. Thaha: 5)

Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan fir­manNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh ter­buka.” (QS. al-Maidah: 64)

Allah memiliki dua mata tanpa di­takyif, seperti dalam firmanNya:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)

Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Al­lah maka sungguh dia sesat, Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan ilmu-Nya.”
(QS. Fathir: 11)

Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jah­miyyah, dan Khawarij.”

Beliau berkata dalam kitab­nya Maqalatul lslamiyyin wa lkhti­lafil Mushallin hal. 290: Kesim­pulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan kepa­da Allah, para malaikatNya, kitab­-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makh­luk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muham­mad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan­Nya.

Mereka memandang wajib­nya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan hendaknya menyibukkan diri dengan mem­baca al-Qur’an, menulis atsar-­atsar, dan menelaah fiqih, dengan selalu tawadhu’, tenang, berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari mengganggu orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha mem­perhatikan keadaan orang yang kekurangan.

Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini semua kami ber­madzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.”

Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.

Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz­-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan al-Asy’ari oleh Syaikh Hammad bin Muhammad al-An­shari cetakan ketiga 1390 H.